Wednesday, November 4, 2009

On Foreign Language

In 2008, I had the pleasure to I sit-in several times for a Mandarin class, conducted in the Master in National Security Administration (MNSA) Program at NDCP. Also last year, I also enjoyed watching films spoken in foreign languages (thanks to the subtitles that helped me understand its entirety) like the multilingual Babel, Letters from Iwo Jima in Japanese texts, the black comedy Borat with some Kazakh lingo, and Apocalypto with its Jurassic Mayan talking. I’m also planning to watch this Curse of the Golden Flower spoken in Mandarin set in Tang Dynasty and this Indonesian film, The Long Road to Heaven, about the Bali Bombing, which I saw, previewed in CNN and ANC.

All in foreign languages. Of course aside from English, other imported languages that I heard spoken when still very young were Spanish and Chinese. Spanish because my mom used to teach it, having been accustomed to it, with so many units in her collegiate years as part of her curriculum. And maybe Fookien Chinese because our now antique elongated wooden stereo in Tuguegarao can transmit and access Chinese AM stations from Taiwan.

In college, because it was required to enroll in foreign language/s in UP Diliman, I personally chose to learn basic Latin, French and Japanese. At first, it sucked especially because am not fond of studying languages, because it was more akin to studying math and Mozart’s musical notes (my personal view).

But in UN today, foreign tongues that are in-demand, or in class A category, given its necessity for translations are Kurds and other Middle Eastern and also Serbian languages, which caught so much limelight internationally, being hotspots for war zones.

Fast forward today, I’ve been studying advanced Bahasa Indonesia, although my Basic was Bahasa Melayu, having been gone to Malaysia twice. But my ibu or lady professor said that the best and easiest way to learn Bahasa is to go to Indonesia, because there, since few people can only speak standard English that has become a status symbol unlike in Malaysia where English is robust due to British legacy, you’re like thrown into a deep blue sea and you gotta survive the language barrier. I bet, in three to six months time, perhaps one is already fluent in oral and proficient in writing.

I hope this time around, I have learned so many things in my foreign language that I’d taken for granted during my undergrad years. Especially in writing, which I deem, is a very helpful skill especially in my work as a researcher.

Sa susunod gusto ko naman lalong matuto magsulat at magsalita ng konting Arabic.

This is a simple essay about my life I’ve written in Bahasa Indonesia:

Keluarga saya berasal dari kota Tuguegarao di Cagayan. Saya anak laki-laki yang ketiga di antara empat anak lelaki. Bapak saya adalah mantan mayor polisi yang sudah pensiun. Ibu saya doktor dalam pendidikan dan bergelar sarjana hukum. Dia bekerja sebagai wakil presiden academic affairs di Sekolah Tinggi Cagayan di Tuguegarao. Carlo, abang saya yang tertua, konsultan dan penasihat untuk walikota. Abang Carlo punya dua masteral degrees. Christopher Ian, abang saya kedua, bekerja sebagai dokter dan dia mempunyai sebuah klinik di rumah kami di Tuguegarao. Christian, adik saya supervisor di sebuah call center di kota Makati. Mereka semua belum berkeluarga tetapi mereka sudah berpacaran.

Saya tamat Antropologi dari Universitas Philippin dan kemudian menjadi peneliti di Lembaga Kebudayaan Philippin di Universitas Ateneo satu tahun. Kemudian, saya juga bekerja sebagai peneliti untuk dua proyek yang disponsori oleh UNDP dan PEDCA. Tetapi sekarang, saya bekerja sebagai Defense Research Officer di Sekolah Tinggi Pertahanan Nasional Philippin sambil mengakhiri MA Asian Studies.

Saya kawin waktu saya berumur dua puluh tujuh tahun pada tanggal delapan April, dua ribu enam di St. Francis di Assisi Parish di Ortigas Center dan resepsi diadakan di lantai atas Prestige Tower, juga di Ortigas Center. Pada waktu itu, Peggy Ann, isteri saya, hanya berumur duapuluh dua tahun. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pramugari Asiana Airlines. Tetapi, lebih baik dia memelihara anak kami. Tetapi sekarang, dia bekerja sebagai Corporate Legal Contract Analyst di SPI Technologies.

Anak laki-laki kami dilahirkan pada tanggal duapuluh sembilan Juli, dua ribu enam, dengan berat badan delapan pon. Kami memberikannya nama Nicholus yang berarti berani. Dia enam bulan sekarang, dan dia sudah mulai berbicara. Dia amat aktif, senang dan selalu tersenyum.

Saya mencintai keluarga saya karena sejak saya kecil, mereka mengasuh dan memberikan saya semua yang saya perlukan. Orang tua dan saudara-saudara saya membantu saya selalu dan karena itu, saya berterima kasih kepada mereka. Oleh karena itu, saya juga mau memberikan kasih yang begitu besar kepada isteri dan anak kami.

Tetapi sekarang, kami tingal dengan isteri dan anak saya, di Tanglaw Subdivision di kota Mandaluyong. Itu adah dua kamur besar. Kami punya tetangga-tetangga dari pelbagai kebangsaan. Mereka orang Jepang, Amerika, Jermani, Tionghoa, Arab, Korea dan Espanyol.

Ini jadwal saya tiap hari. Saya mulai minngu saya dengan ke gereja Divine Mercy bersama-sama keluarga saya untuk berdo’a pada hari minggu. Kami selalu ke luar untuk makan siang di restoran yang dekat atau fast food dan berjalan-jalan di Shangri-la Mall atau di Greenbelt di kota Makati.

Pada hari Senam saya bangun jam enam kurang seperampat, makan pagi, sikat gigi dan mandi. Saya mengusir Honda mobil dan saya berangkat pagi-pagi untuk menhadari upacara bendera di NDCP sekitar jam tujuh seperampat pagi di Camp Aguinaldo.

Pada hari sabtu saya bangun terlambat sebelum ke sekolah, semudian, saya bermain-main dengan Nicholus Brave.

Terima kasih untuk membaca hidup saya. Sekian.

No comments: